Hingga saat ini pembangunan sistem perbibitan sapi perah di Indonesia belum dilakukan dengan suatu perencanaan operasional yang terstruktur rapi dan dapat menjamin keberhasilan dalam meningkatkan kapabilitas persusuan nasional dengan baik. Hal ini dikarenakan oleh arah pembangunan hanya jangka pendek yang difokuskan pada kepentingan perbaikan manajemen dan pakan, dana yang tersedia relatif kecil, kerja sama antar institusi yang tidak selaras, dan program recording dan uji pejantan yang masih sangat terbatas. selanjutnya masih dipersulit lagi dengan keterbatasan peternak sapi perah dalam pemilikan jumlah unit ternak yang sangat terbatas, akses permodalan yang belum ada dan pemilikan lahan yang sempit. Hal lain adalah aspek geografis di mana areal beriklim sejuk yang dekat dengan pasar sangat terbatas, sedangkan perkembangan usaha sapi perah diarahkan untuk adaptasi terhadap wilayah dataran tinggi beriklim sejuk. Perbaikan usaha perbibitan melalui pelaksanaan program IB telah berkembang cukup baik, hanya sayangnya semen yang digunakan berupa produk impor yang belum diketahui kapabilitasnya pada kondisi iklim Indonesia, sebenarnya indonesia sendiri telah mmpu memproduksi semen sendiri tetapi dari segi kualitas dan kuantias yang belum memadai. Oleh karenanya pembentukan pejantan teruji (proven bulls) dengan daya adaptasi yang baik terhadap kondisi Indonesia sudah harus dilakukan sejalan dengan identifikasi sapi-sapi betina unggul bersertifikat. Semua ini baru dapat dilakukan bilamana kegiatan recording yang minimal meliputi produksi susu, kesehatan dan kondisi tubuh dapat dilakukan oleh peternak. Oleh karenanya pengorganisasian kelembagaan sistem perbibitan perlu dikaji ulang agar diperoleh format terbaik yang kondusif bagi perkembangan persusuan nasional.
Usaha persusuan sudah sejak lama dikembangkan di Indonesia. Seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan persusuan di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu Tahap I (periode sebelum tahun 1980) disebut fase perkembangan sapi perah, Tahap II (periode 1980 – 1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan Tahap III (periode 1997 sampai sekarang) disebut periode stagnasi. Pada tahap I, perkembangan peternakan sapi perah dirasakan masih cukup lambat karena usaha ini masih bersifat sampingan oleh para peternak. Pada tahap II, pemerintah melakukan impor sapi perah secara besar-besara pada awal tahun 1980-an. Tujuan dilakukannya impor besar-besaran adalah untuk merangsang dan sebagai pemicu minat peternak untuk lebih meingkatkan produksi dan kualitas susu sapi perahnya. Selain itu, peningkatan populasi sapi perah diikui oleh permintaan akan produk olahan susu yang semakin meningkat dari masyarakat. Di samping itu, pemerintah mencoba melalukan proteksi terhadap peternak rakyat dengan mengharuskan Industri Pengolahan Susu (IPS) untuk mengumpulkan susu dari peternak. Sedangkan untuk tahap III, perkembangan sapi perah mengalami penurunan dan stagnasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh kejadian krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Di samping itu, pemerintah mencabut perlindungan terhadap peternak rakyat dengan menghapus kebijakan rasio susu impor dan susu lokal terhadap IPS (Inpres No.4/1998). Kebijakan ini sebagai dampak adanya kebijakan global menuju perdagangan bebas barrier. Berdasarkan dengan kebijakan tersebut, maka peternak harus mampu bersaing dengan produk susu dari luar negeri, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, hal ini lah yang membuat para peternak kecil tidak dapat mengembangkan dan meningkatkan hasil produsi susu mereka, disamping itu kurangnya pendampingan dari pihak pemerintah maupun piahak terkait lainnya untuk sama-sama menggandeng peternak kecil untuk membangun dan meningkatkan produksi susu, sehingga dapat bersaing dengan susu import dan dapat menarik minat IPS sehingga mau membeli susu dari peternak dengan harga lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar